Oktober 12, 2015

Cerita tentang “Bukan Bermain Biasa”




Saya dan suami yang pertama sampai dilokasi workshop. Hihihiii … kepagian kami… tapi tidak apalah kebetulan jalanan lancar jadi Depok menuju Jalan Bangka hanya perlu waktu kurang dari 45 menit. Ternyata ada untungnya juga kami sudah dilokasi acara 45menit sebelum acara dimulai. Selain lebih rileks dan bisa mengosongkan gelas agar siap dituang ilmu baru, kami belajar banyak dari tempat ini.

Tidak ada yang istimewa dari tempat ini. Hanya salah satu ruko dari deretan ruko tiga lantai biasa. Diluar ekspektasi yang saya bayangkan dari rumah tentang lokasi workshop ini. Tapi penilaian saya langsung berubah saat saya mulai masuk kedalamnya. Diruang tunggu ada sofa hijau empuk dengan dua buah meja putih persegi yang dijejer, khas perabot IKEA. Didepannya ada sebuah kamar dengan rak putih yang berisi mainan yang tertata rapi. Ada papan berkaki untuk melukis dengan kertas gulung yang penuh coretan anak. Mainan dalam wadah tergantung didinding. Dan karpet karet untuk alas bermain anak. Saya berdecak kagum karena semuanya dalam keadaan tersusun rapi.

Terdapat jendela kaca lebar yang terhubung dengan kamar sebelahnya. Ternyata ruangan tersebut dan ruangan sebelahnya adalah ruang konsultasi psikologi dari Rainbow Castle ini. Dimana ruangan yang berisi mainan untuk mengobservasi psikologi anak. Sedangkan ruangan sebelahnya adalah tempat orang tua berkonsultasi dengan psikolognya. Jadi kita dapat memonitor sang anak saat sedang diobservasi psikologisnya.

Naik kelantai dua. Tempat workshop “Bukan Bermain Biasa”. Anak tangga dari kayu, lantai yang tertutup dengan karpet bermotif dan bertekstur kayu langsung membuat saya jatuh cinta. Hangat, bersih dan “bukan tempat biasa”. Ada tiga bagian dinding dengan tiga cerita. Dinding paling dekat dengan jendela tergambar jelas seekor kelinci yang sedang menulis. Dengan tulisan besar “Rabbit Hole”. Dibawah tulisan tersebut ada 3 rak buku gantung sederhana. Yang menggelitik ide kreatif suami untuk membuatnya dirumah dan menempelkannya didinding kosong rumah kami. Dinding kedua berjajar pigura kecil dengan lukisan didalamnya yang melingkar searah jarum jam. Ternyata ini adalah “jam dinding” yang sebenarnya. Dinding terakhir dibagian belakang di cat hitam dan penuh dengan coretan kapur berwarna warni, khas coretan tangan anak. Tergantung juga tiga buah keranjang kain untuk wadah peralatan mencoretnya.

Ternyata ruangan dilantai dua ini adalah perpustakaan anak “Rabbit Hole”. Yaa.. perpustakaan yang selalu menjadi idaman dan impian –semoga bisa menjadi kenyataan- dalam keluarga kami. Nyaman, koleksi buku yang bermakna, dan menjadi tempat yang selalu kami rindukan.

Banyak inspirasi dari tempat workshop ini yang bisa kami bawa pulang dan siap dikreasikan dirumah mungil kami.

Workshop dimulai pukul 9.10 wib. Dengan peserta kurang lebih 20 pasang suami istri. Kenapa harus pasangan ayah dan ibu yang ikut? Yaa pasti karena anak membutuhkan “bermain” dengan keduanya, bukan salah satunya saja.

Workshop ini adalah workshop perdana yang memperkenalkan tema “Bukan Bermain Biasa”. Akan ada lanjutan workshop berikutnya yang akan memperdalam masing – masing elemen nya.

Bermain adalah bahasa anak. Dalam dunia bermain anak bisa mengekpresikan perasaannya juga mengasah kecerdasannya. Dengan bermain pula orang tua dapat meningkatkan bounding dengan anaknya.

Lalu bagaimana orang tua dengan waktu yang sempit tetap dapat bermain yang berkualitas dengan anak?

Orang tua yang cenderung kurang memperhatikan anaknya akan membawa pengaruh pada anak itu sendiri. Anak akan cenderung tertutup, tidak percaya diri, menarik diri dari pergaulannya dan memandang dunia ini menakutkan baginya. Lain halnya dengan orang tua yang dekat dengan anak, anak akan merasa nyaman, terlindungi dan memandang dunia ini menyenangkan.

Salah satu dari upaya untuk meningkatkan bounding antara orang tua dengan anaknya adalah dengan bermain bersama. Bermain yang berkualitas yaitu orang tua benar – benar hadir jiwa raga nya dihadapan anak. Tidak perlu mainan yang mahal atau berteknologi tinggi, hanya dibutuhkan “sedikit” kreatifitas dan focus terhadap reaksi anak saat bermain.

Terdapat empat elemen penting dalam membangun kualitas hubungan yang sehat antara orang tua dan anak, yaitu : Engagement, Challenge, Structure dan Nurture. Dari keempat elemen tersebut dapat dituangkan dalam permainan sederhana yang bisa diterapkan untuk semua usia anak (dengan pasangan kita pun bisa J). Tidak ada batasan waktu dari setiap permainan untuk menilai keberhasilannya. Yang dibutuhkan adalah konsistensi untuk melakukannya setiap hari.

Elemen yang pertama adalah Nurture yang akan mengubah dunia menjadi nyaman dengan memperkuat bounding antara orang tua dengan anak. Salah satu contoh permainannya adalah dengan mengoleskan lotion/minyak kayu putih di tangan/bagian tubuh anak. Dibagian luka atau bekas gigitan nyamuk. Sambil mengoleskannya dengan lembut dan sedikit tekanan, kita bisa meminta anak untuk menilai. Apakah nyaman dengan pijitan lembut ibu? Cukupkah tekanan pada pijitannya? Kita bisa lakukan sambil bernyanyi, bercerita, menghitung jumlah gigitan nyamuk dan bahkan sambil bermain slippery slip (berpura pura jatuh kepleset). Anak akan merasa diperhatikan dan nyaman dari sentuhan tersebut. Namun ada juga anak yang malah cuek dan tidak bereaksi ketika disentuh. Ini adalah pertanda ada “masalah” yang perlu dicari tau penyebab dan diperbaiki hubungan antara orang tua dan anak.

Yang kedua adalah Engagement. Dengan cara mengoleskan sedikit lotion dibagian tubuh (misalnya hidung) dan menempelkan kapas bulat di lotion tersebut (lotion berfungsi sebagai lem/perekat). Minta anak untuk meniup kapas tersebut sampai terlepas dari hidung.

Structure, berurut dan berpola akan mengajarkan anak untuk mengikuti arahan. Contoh permainannya adalah dengan menggunakan bubble. Tiup bubble dan tangkap. Kemudian suruh anak untuk memecahkan bubble tersebut dengan salah satu bagian tubuhnya (misalnya dengan telunjuknya). Dengan maksud tersebut anak bisa mengikuti arahan dari orang tua.

Yang terakhir adalah challenge. Sediakan selembar kertas koran, pegang erat dikedua sisinya. Minta anak untuk meninju koran tersebut dengan kuat sampai robek. Lakukan sampai kertas terkecil. Kemudian remas koran hingga berbentuk bulatan – bulatan bola. Lanjutkan ke permainan lempar bola kedalam keranjang dengan tangan kita berfungsi sebagai ring. Anak akan merasa tertantang dengan permainan ini dan kita bisa masukkan nilai “Kamu mampu untuk tumbuh dan membuat pengaruh positif terhadap dunia”.  

Dalam semua permainan ini yang bertindak sebagai sutradara adalah orang tua. Karena disini bertujuan agar anak dapat menilai dunia dengan nyaman dan aman karena ada orang tua sebagai tempat yang mereka percayai.

Sebagai orang tua kita harus merespon dari reaksi anak dalam setiap permaianan ini. Karena pada dasarnya masing – masing anak adalah unik dan berbeda penanganannya. Ada sebagian anak yang justru malah “terlalu” nyaman dengan pijitan lembut dalam elemen nurture yang membuatnya menjadi manja berlebihan, berarti kita harus peka dan temukan elemen lain yang perlu diasah lebih jauh.

Banyak ide-ide baru permainan sederhana dan kreatif yang dapat dikembangkan dari empat elemen ini. Ayo kita perkuat lagi bounding dengan anak-anak kita dengan bermain yang bukan bermain biasa lagi.


Ika Puspitaningtyas
Depok, 12 Oktober 2015
Oleh-oleh dari Workshop "Bukan Bermain Biasa" yang diselenggarakan oleh Rainbow Castle (www.rainbowcastle-id.com)

Oktober 07, 2015

Melatih Kemandirian Anak (1), Makan Sendiri



“Makan menjadi suatu ritual yang menyenangkan atau malah sebaliknya menjadi momok bagi ibu dan anak balitanya.”

Let’s write!!. Yes!!. Ayo kita praktekkan ilmu dari belajar menulis online dengan Pak Burhan Sodiq.
Belajar menulis padat, inspiratif dengan waktu yang singkat.

Annisa dan Aysha putri kembar kami usia lima tahun sedang dalam proses belajar kemandiriannya yaitu makan sendiri. Tidak ada kendala yang berarti saat mengajari Annisa agar bisa makan sendiri. Namun sebaliknya, penuh tantangan saat mengajarkannya ke Aysha.

Sebenarnya terlambat mengajarkan anak untuk bisa makan sendiri diusia ini. Menurut Bu Septi dalam kuliahnya, anak sudah mulai bisa dilatih mengurus dirinya sendiri (makan, mandi, berpakaian, dll) diatas usia 1 tahun. But, better late than never  *menghibur diri sendiri yang masih dan terus belajar untuk menemukan formula yang tepat :)

Berbekal ilmu mengenai cara mengajarkan anak makan sendiri dari buku yang kubaca dan dari sharing teman-teman di group parenting, malam ini kukuatkan niat untuk mengajarkan Annisa Aysha makan sendiri mulai besok pagi. Walaupun Abinya jauh diluar kota, tapi supportnya semakin menambah semangatku.

Malam hari sebelum tidur, kubisikkan ditelinga mereka mulai besok pagi mereka harus bisa makan sendiri. Tanpa umi suapin lagi. Dalam alam bawah sadarnya mereka mengangguk tanda setuju. Aku tersenyum, langkah pertama sukses sesuai rencana.

Pagi harinya menu kesukaan mereka sudah tersaji dimeja makan. Piring dan sendok sudah siap disamping rice cooker. Kujelaskan urutannya, yaitu ambil nasi dulu kemudian lauknya, ambil secukupnya dan dihabiskan.

Annisa bisa mengikuti tanpa kendala. Dia ambil sendiri nasi kemudian lauknya dan makan dimeja makan. Kubiarkan dia menyelesaikan makannya walaupun nasi berceceran dimulut, baju dan meja. Setelah selesai makan kutunjukkan tempat menaruh piring kotornya. Dia minum segelas air putih dan membersihkan nasi yang berceceran. Yes, Great Annisa!! 

Namun lain ceritanya dengan Aysha. Rupanya tantangan besar menantiku.
Aysha tetap pada pendiriannya. Tidak beranjak dari duduknya. Dengan muka cemberut, males, BeTe dia bilang “Aku gak mau makan sendiri mi, maunya disuapin umi”. Deeeeeeengggg… tantangan baru saja dimulai.

“Kenapa Aysha?” “Ya pokoknya mau disuapin umi aja” “Tapi Aysha sudah lima tahun, sebaiknya sudah bisa makan sendiri. Apalagi sebentar lagi dedek Aysha lahir” “Pokoknya mau disuapin”

Stok amunisi sabar sudah kuisi dari semalam, sumbunya juga sudah kupanjangin. Aku tetap pada pendirianku. Dan Aysha juga tetap pada pendiriannya.

Jam makan pagi lewat, tidak ada nasi yang masuk. Susu juga tidak kuberikan. Aysha tetap pada posisinya, tiduran dikasur diruang keluarga. Gulang guling tanpa aktivitas seperti biasa. Menurut teori aku harus kuat pendirian karena alamiahnya anak akan lapar dan akan minta makan sendiri. Aku pegang betul teori ini.

Masuk jam makan siang. Annisa mulai ambil nasi, lauk, kemudian dia makan sendiri. Aku biarkan nasi belepotan dimana-mana seperti saat sarapan. Piring Aysha masih kosong dari pagi. Dia tetap pada pendiriannya. Dan tidak beranjak dari posisinya.

Jam tiga sore, aku tawari kembali Aysha makan. Dia tetap tidak mau, gerakannya ditempat tidurnya semakin tidak bertenaga. Dalam hatiku sebentar lagi pasti dia akan minta makan atau susu. Karena dari pengalaman teman-teman jam kritisnya anak lapar dan akan minta makan sendiri. Aku tunggu ternyata tidak ada perubahan.

Adzan maghrib aku mulai gelisah. Seharian tidak ada asupan yang masuk ke tubuh Aysha. Aysha hanya tiduran saja. Badannya lemas. Dari pagi buang air kecil hanya sekali. Aku raba keningnya terasa demam. Aku termo suhunya mencapai  39,2 dercel. Ya Allah ... Dan kepanikanku mulai mendominasi. Semua teori yang kupegang lenyap sudah. Aku telepon abi dan langsung menangis, panik, bingung.

Runtuh sudah rasanya pertahanan ini. Rencana menerapkan ilmu kemandirian lenyap sudah. Yang ada dipikiran saat ini bagaimana caranya agar Aysha turun demamnya. Aku mencari apotek yang masih buka karena ternyata tidak ada stok paracetamol di kotak obat.

Aku tawarin susu, Aysha tetap tidak mau. Kusuapin makan malamnya tidak mau juga. Biskuit, roti tawar juga dia tidak mau. Aku semakin panik karena Aysha semakin lemas tidak bertenaga. Setelah kubujuk rayu akhirnya paracetamol bisa masuk dan dia tertidur lelap.

Aku menangis sejadi jadinya. Merasa gagal menjadi ibu karena tidak bisa mengajarkan anak kemandirian malah mencelakainya. Merasa sudah banyak belajar tapi tetap saja masih bodoh. Syukurlah suara menenangkan, menyejukkan dari jauh mulai menghapus air mataku. Aku kembali bangkit dan berfikir jernih.

Jam sepuluh malam aku pantau lagi suhu Aysha. Sudah mulai normal 38 dercel. Aku coba bangunin utk minum air putih dan susu. Alhamdulillah ada yang masuk. Setiap jam kemudian aku cek lagi suhunya dan sudah mulai stabil normal. Lega rasanya Aysha buang air kecil kedua kalinya hari ini.
Besok paginya Aysha sudah mulai terlihat segar. Dia sudah mau minum susu dan makan nasi dengan disuapin. Siangnya kembali ceria dan bermain seperti biasanya.

Aku masih terus memutar otak bagaimana caranya mengajarkan Aysha makan sendiri dengan menyenangkan. Dan abi tetap menyemangatiku untuk mencoba kembali dua atau tiga hari lagi.

Pagi ini aku beranikan diri mencoba kembali mengajari Aysha makan sendiri. Aysha mulai bisa mengikutinya. Dia ambil nasi, lauk dan makan sendiri dimeja makan. Aku temani sambil bercerita dan terus menyemangatinya. Akhirnya sesi sarapan ini terlewati dengan lancar, tidak banyak yang belepotan walaupun membutuhkan waktu makan dua kali lipatnya dari waktu makan Annisa.

Alhamdulillah.. lega rasanya menemukan jawaban dari tantangan Aysha. Sekarang tinggal menerapkan konsistensi selama 30 hari. Setelahnya semoga ritual makan menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagiku, Annisa dan Aysha. 


Ika Puspitaningtyas
Dari jendela rumahku,
6 Oktober 2015